Berbeda
Hari ini, Rabu, 24 Juni 2014, 21.31, gerbong akhir, Commuter Line tujuan Bogor.
Satu minggu sudah bulan Ramadhan berlalu. Kesan? Sungguh berbeda. Sedih pada awalnya, namun ini termasuk salah satu fase kehidupan--yang mungkin semua orang akan merasakannya--.
Biasanya, sehabis buka puasa, rutinitas keluarga saya selalu membuka Al-Qur'an-nya masing2, melantunkan ayat-ayat Allah sembari menunggu waktu Isya tiba. 5 menit sebelum Adzan Isya dikumandangkan, kami--ayah-mama-saya-dan adik saya--, bergegas pergi ke Masjid untuk menunaikan shalat Isya yang disusul dengan Tarawih. Hampir rutin, jika memang saya tidak memiliki jadwal untuk berbuka puasa di luar. Nikmat rasanya. Sangat terasa sekali esensi dan euphoria bulan Ramadhan-nya. Karena hal itu, saya pun selalu menunggu-nunggu bulan Ramadhan, entah mengapa. Angin pun seperti menghembuskan udara yang berbeda di bulan suci ini.
----------
Hari Kamis lalu, tepat hari pertama Ramadhan.
Saya baru keluar kantor pukul 17.10 karena memang tidak ada kompensasi waktu pulang saat Ramadhan. Bergegas saya pulang karena berniat untuk shalat Tarawih di rumah. Namun sepertinya jalanan tidak mendukung (yah, jalanan Kuningan-Tebet memang tak pernah mendukung). Sehingga pada akhirnya, niat hanya tinggallah niat. Saya baru sampai rumah sekitar pukul 19.40, saat Masjid sedang ramai-ramainya dipenuhi oleh makmum yang ingin menunaikan ibadah Shalat Tarawih, saat sang imam sedang mengumandangkan ayat-ayat indah.
Masuk ke rumah, suasana berbeda. Sepi, terkunci, hening....... Hanya ada hidangan berbuka yang memang sudah disiapkan oleh Mama saya. Entah sedang melankolis atau memang masih adaptasi, seketika saya langsung merasa sedih.........
Sedih karena tidak bisa menyiapkan hidangan berbuka dan buka puasa bersama. Sedih karena tidak bisa Shalat Maghrib berjamaah. Sedih karena tidak bisa bersiap dan menuju Masjid bersama. Sedih karena.......tidak bisa menjalankan Tarawih bersama keluarga, apalagi pada hari itu terdengar jelas Ayah sedang memberikan kultum di sana. Tapi yang paling membuat saya merasa sedih adalah............pikiran-pikiran negatif yang membuat saya takut jika di tahun-tahun berikutnya saya tidak diizinkan lagi untuk menjalankan Ramadhan bersama orang tua. "Lalu, kapan lagi waktunya jika bukan tahun ini?"
Sontak saya pun langsung berkaca-kaca, menyadari bahwa betapa berharganya waktu. Saya harus bersyukur karena masih diizinkan menjalankan Ramadhan bersama di tahun-tahun sebelumnya, dan harus berusaha mengkualitaskan Ramadhan tahun ini bersama mereka.
----------
Entah lah tahun ini terasa sangat berbeda, mungkin karena baru kali pertama, belum terbiasa, dan belum bisa beradaptasi dengan keadaan baru yang sekarang. Cemen juga sih, gitu aja sedih, padahal kan "namanya juga hidup, berputar, ada siklusnya" hehehe untuk hari-hari dan tahun-tahun selanjutnya, Bismillah aja. Saya yakin ini hanya perihal waktu :")
Terima kasih yaAllah karena sudah mengizinkan saya untuk bisa merasakan kembali bulan Ramadhan di tahun ini.
0 comments